Powered By Blogger

Kamis, 08 September 2011

makalah filsafat

Dampak Kapitalisme

Yang jelas, kecenderungan kapitalistis yang terbentuk sebagai hasil proses sejarah perekonomian Indonesia sejak kemerdekaan, telah mengakibatkan suatu kecenderungan sosial. Yaitu, sebagaimana umumya terjadi di negara-negara lain yang juga menganut kapitalisme, golongan kuat dan kaya akan menjadi semakin kuat dan semakin kaya, sedangkan yang kecil dan miskin makin terjepit.
Kita berharap, dengan memasyarakatkan kewiraswastaan, rakyat kecil akan dapat menolong dirinya untuk bangkit merayap kejenjang kehidupan yang lebih baik. Untuk itu, perlu dilihat bagaimanakah situasi saat ini yang merupakan dampak sebuah sistem kapitalistik.

Penulis mengamati bahwa semacam “shock sosial” telah terjadi, sehubungan dengan percepatan pembangunan bangsa yang banyak melibatkan peran-serta swasta. Shock sosial itu, telah mengakibatkan terbentuknya kelompok-kelompok lapisan masyarakat yang masing-masingnya bereaksi secara berbeda terhadap perubahan zaman. Minimal ada 4 kelompok dapat diidentifikasi berdasarkan perilakunya, yaitu :

1). Kelompok yang sadar betul akan gejala kecenderungan kapitalistik (“Capitalism Awareness”), dan mereka menanggapi kecenderungan itu secara antusias serta bekerja keras dengan konsentrasi penuh untuk mencapai prestasi, dalam lingkungan ekonomi kapitalisme itu. Mereka umumnya terdiri dari para pengusaha golongan ekonomi kelas atas dan menengah. Begitu juga kaum profesional dan karyawan-karyawan yang termotivasi dan sedang menyiapkan diri terjun ke dunia bisnis. Sedikit pengusaha kecil juga ada yang termasuk golongan ini, biasanya dari angkatan muda.

2). Kelompok yang sadar akan ketidak mampuannya mengikuti percepatan pembangunan ekonomi, sehingga dengan pasrah menempatkan dirinya sebagai “penonton” yang baik. Motivasi yang mereka miliki hanyalah sebatas mencari nafkah (“Subsistence Motivation”) untuk memenuhi kebutuhan SPPK (sandang, pangan, papan dan kendaraan). Terdiri dari para pengusaha kecil gurem atau pegel (pengusaha golongan ekonomi lemah) ditambah dengan para pegawai menengah dan rendahan baik swasta maupun negeri yang motivasinya hanya sebatas pemenuhan nafkah pokok.

3). Orang-orang yang tertarik dengan berlangsungnya percepatan ekonomi kapitalistik, tetapi merasa tidak akan mampu untuk ikut ambil bagian. Sehingga, mereka cenderung “lari” kejalur alternatif, yang biasanya merupakan sisa-sisa feodalisme (“Residual Feodalism”). Ciri-ciri umum golongan ini adalah mereka berusaha mencari pengakuan dalam dunia pendidikan, antara lain dengan mengejar gelar-gelar elit strata intelektual (S1, S2, S3 dan seterusnya), tapi tidak menggunakannya dalam dunia pendidikan itu sendiri. Misalnya, bekerja sebagai pegawai negeri dan mengharapkan peningkatan karir berdasarkan prestasi mereka dalam gelar-gelar kesarjanaan. Dengan jalan itu, mereka berharap satu saat kelak bisa menduduki jabatan-jabatan penting dan bisa menjalin hubungan dekat dengan para kapitalis.

4). Kelompok Konvensional, ialah orang-orang yang tidak peduli dengan perubahan dan tetap tinggal dijalur-jalur konvensional. Yang ingin berkarir secara struktural, menjadi pejabat yang baik dan bersih, yang berminat dengan dunia pendidikan, memilih menjadi guru, yang ingin berkarir dibidang teknik menjadi teknokrat, yang bercita-cita menjadi artis tetap didunia seni dan seterusnya. Motivasi mereka biasanya bukan uang, tetapi pengabdian pada karir dibidang masing-masing.

Pembagian kelompok masyarakat dengan cara di atas, merupakan sebuah simplifikasi, sehingga dimungkinkan untuk melihat dunia bisnis dengan bentuk yang lebih sederhana. Bagi calon wiraswastawan, mau tidak mau harus mengerti bahwa kelompok yang akan diterjuni adalah kelompok pertama, yaitu kelompok yang sadar akan kecenderungan kapitalisme. Kita berharap dengan semakin banyaknya pengusaha kecil yang terjun kedunia bisnis yang tidak untuk sekadar mencari nafkah, akan berdampak positif dalam membentuk kekuatan ekonomi baru dari kalangan bawah. Sebagaimana Taiwan yang kokoh struktur ekonominya berkat keterpaduan sekian banyak pengusaha kecil.




Tatkala Kapitalisme Kangkangi Pendidikan
TatTATKALA KAPITALISME MENGANGKANGI PENDIDIKAN
(Kritik Terhadap Pendidikan Berbasis Dunia Kerja)
Nanang Wijaya, S.Sos
A. WAJAH AWAL PENDIDIKAN (Sebuah Pendahuluan)
Pendidikan secara umum dapat dipahami sebagai proses pendewasaan sosial manusia menuju pada tataran ideal. Makna yang terkandung di dalamnya menyangkut tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi atau sumber daya insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (Insan kamil). Benjamin Bloom mengatakan ada tiga fungsi pendidikan yang kemudian disebutnya sebagai taksonomi pendidikan yaitu (1) fungsi afektif ; untuk membentuk watak, sikap dan moralitas yang luhur (affective domain) (2). Fungsi kognitif ; Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (cognitive domain) (3). Fungsi Psikomotorik ; untuk melatih keterampilan (psychomotorik domain). Dan ketiga aspek merupakan tolak ukur keberhasilan pendidikan pada anak didik. Merupakan ketimpangan pendidikan jika hanya satu yang menonjol dari ketiga fungsi pada anak didik.
Memaknai 3 fungsi diatas maka sesungguhnya pendidikan berbicara mengenai penanaman kecakapan hidup (life skill) yang didalamnya terdapat kecakapan akademik kognitif, kecakapan afektif (emosional, sosial dan spritual) serta kecakapan psikomotorik, meminjam rumusan UNESCO – pendidikan meliputi ; (1) kecakapan untuk berpikir dan mengetahui (learning how to think). (2) kecakapan untuk bertindak (learning how to do). (3). kecakapan (individual) untuk hidup (learning how to be). (4). kecakapan untuk belajar (learning how to learn) dan (5) kecakapan untuk hidup bersama (learning how to life together). Kecakapan-kecakapan itulah yang kemudian dipergunakan untuk menjalankan hidup secara layak dan manusiawi. Secara sederhana sesungguhnya tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia (mengerti atas dirinya, lingkungan dan tujuan hidupnya) bukan pendidikan untuk mencari pekerjaan.
Poulo Freire mengatakan bahwa pendidakan haruslah berorientasi pada pengenalan terhadap realitas dunia dan diri manusia itu sendiri. Seorang manusia yang tidak mengenal realitas dunia dan dirinya sendiri, tidak akan sanggup mengenali apa yang ia butuhkan, apa yang akan dia lakukan dan apa yang ingin dia capai. Pendidikan haruslah menjadi proses pemerdekaan, pembebasan dan kekuatan penggugah (subversive force) untuk melakukan perubahan dan pembaharuan. Maka diharapakan output dari pendidkan adalah manusia-manusia yang memiliki kesadaran kritis atas konstalasi social dimana dia hidup dan mampu melakukan perubahan atas situasi social yang cenderung merugikan. Output pendidikan adalah sosok pembaharu, pengubah, pemimpin, teladan dan kreatif.
Untuk mencapai hal tersebut maka pendidikan haruslah diselenggarakan dengan berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Alih-alih mendapatkan sosok out put pendidikan yang ideal, ternyata tiap hari kita disuguhkan dengan berita-berita tentang prilaku-prilaku anak bangsa yang mengaku berpendidikan yang sangat tidak bermoral. Korupsi, narkoba, pembunuhan, penculikan, tawuran massa dan prilaku kriminal lainnya seolah-olah telah menjadi wajah bangsa ini. Justru yang kita lihat sehari-hari adalah sosok kriminal, pecundang dengan mental yang sangat rendah. Maka patutlah kita bertanya : ADA APA DENGAN PENDIDIKAN NEGERI INI ?
B. PERUBAHAN PARADIGMA MASYARAKAT ATAS PENDIDIKAN
Kapitalisme dan materialisme adalah anak kandung dari moderinisasi, sehingga ketika modernisasi menjamah seluruh lapisan masyarakat. Maka mau tidak mau, kapitalisme dan materialisme juga ikut mempengaruhi pola pikir masyarakat. Akibat perubahan pola pikir ini terjadi perubahan yang sangat radikal atas cara pandang masyarakat terhadap pendidikan saat ini. Cita-cita luhur pendidikan yang begitu luhur saat ini telah terabaikan oleh masyarakat. Keinginan untuk melahirkan pribadi-pribadi yang memiliki kecerdasan emosional/spritual, kecerdasan intelektual serta memiliki keterampilan tereduksi sedemikian rendanya. Pendidikan pada akhirnya dilihat oleh masyarakat dari cara pandang materialisme dan kapitalisme.
Indikator yang dapat terbaca pada masyarakat adalah motivasi masyarakat untuk mengikuti pendidikan. Motivasi tersebut tereduksi pada motif untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dengan orientasi penghasilan, bukan lagi berorientasi pengetahuan, kecerdasan dan kesadaran. Saat ini orang masuk sekolah karena ingin dapat pekerjaan yang menghasilkan.
PENGETAHUAN
PESERTA DIDIK —- SEKOLAH —- KECERDASAN —–PERUBAHAN SOSIAL
KESADARAN
PESERTA DIDIK ————–SEKOLAH ————-IJAZAH ———-PEKERJAAN
Akibatnya sekolah adalah tempat untuk mendapatkan ijazah, karena ijazah adalah syarat utama untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini berimplikasi pada sikap dan prilaku baik masyarakat maupun peserta didik yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan ijazah. Tradisi menyontek, plagiat, menyuap, membayar ijazah, membayar skripsi, dll lahir dari paradigma materialisme ini.
AWALNYA SEKOLAH ADALAH TEMPAT MENUNTUT ILMU
SEKARANG SEKOLAH ADALAH TEMPAT MENDAPAT IJAZAH
Cara pandang ini juga berpengaruh pada pemilihan masyarakat terhadap jurusan-jurusan (program) studi yang diminati atau yang dipilih. Program studi yang dianggap berhubungan dengan dunia industrilah yang banyak dipilih, seperti tekhnik, kedokteran, komputer, dll. Sementara program-program studi ilmu humainora menjadi jarang untuk dipilih. Untuk tingkat SMU, jurusan IPA menjadi kebanggan seolah-olah menrupakan jaminan masa depan.
Sehingga saat ini kita akan kesulitan untuk menemukan output pendidikan yang benar-banar memiliki kesadaran atas arti pentingnya pengetahuan yang memiliki kesadaran kritis atas realitas, yang memiliki kepekaan humanity dan rasa solidaritas yang tinggi. Yang ada adalah uotput yang memiliki sikap individual yang tinggi, tidak matang dalam pengetahuan dan tidak memahami makna hidup. Dan sekarang output seperti inilah yang banyak mengelolah negara ini.
C. HEGEMONI KAPITALISME ATAS PENDIDIKAN
Mengikuti teori Francis Fukuyama yang memprolamirkan kemerdekaan kapitalisme atas didologi apapun, maka kenyataannya kapitalisme telah menghegemoni dunia pendidikan kita. Hal ini dapat dilihat dari proses industrialisasi pendidikan kita. Proses industrialisasi pendidikan dapat dilihat/dipahami dalam dua pengertian, yaitu ; (1). Pendidikan yang dijadikan layaknya industri yang menghasilkan uang dan keuntungan yang berlipat-lipat. (2). Sistem pendidikan yang diformat sedemikan rupa (oleh skenario kapitalisme) untuk menyiapkan peserta didik agar mampu beradaptasi dengan dunia industri-kapitalis.
Peter McLaren mengatakan, dalam dunia kapitalisme, sekolah adalah bagian dari industri, sebab sekolah adalah penyedia tenaga kerja/buruh bagi industri. Ada tiga pengaruh kapitalisme terhadap sekolah, yaitu (1). Hubungan antara kapitalisme dan pendidikan telah mengakibatkan praktek-praktek sekolah yang cenderung mengarah kepada kontrol ekonomi oleh kaum elit. (2). Hubungan anatar kapitalisme dan ilmu telah menjadikan tujuan ilmu pengetahuan sebatas mengejar keuntungan. (3). Perkawinan antara kapitalisme dengan pendidikan serta kapitalisme dan ilmu telah menciptakan pondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nilai material dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan martabat manusia. Pada akhirnya peserta didik dalam dunia pendidikan kita kehilangan senstifitas kemanusiaan digantikan dengan kalkulasi kehidupan materialisme.
Sekolah-sekolah terkooptasi oleh mekanisme industri dan bisnis, dimana sekolah menjadi instrumen produksi ekonomi. Mau tidak mua, kurikulum pendidikan juga ikut terpengaruh, misalnya dalam hal menentukan ilmu pengetahuan mana saja yang perlu dipelajari oleh peserta didik, yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia industri. Maka terciptalan kurikulum yang sepenuhnya berwatk kapitalistik. Indikator yang dapat kita lihat adalah sedikitnya jam pelajar untuk ilmu-ilmu humaniora dan moral dibandingkan dengan pelajaran lainnya.
AWALNYA : SEKOLAH —————- MANUSIA SEUTUHNYA
SEKARANG : SEKOLAH —————- TENAGA KERJA UNTUK INDUSTRI
Pada filosofi seperti inilah lahir PENDIDIKAN BERBASIS DUNIA KERJA.
Pertanyaannya adalah apakah kita harus menolak Pendidikan berbasis dunia kerja ???
Sementara realitas telah menuntut kita untuk seperti itu, ketika kita menolak bukankah realitas akan meninggalkan kita. Pertanyaan ini dijawab oleh tiga paradigma pendidikan dengan jawaban yang berbeda.
D. TIGA PARADIGMA PENDIDIKAN
1. Paradigma Konservatif, akan menerima keadaan apa adanya dan menyesuaikan diri dengan tuntutan realitas tanpa mempertanyakan apapun. Dan mayoritas masyarakat
2. Paradigma Liberal/Demorkat, akan mengubah beberapa tuntutan realitas dan sedikit menyesuaikan diri.
3. Paradigma Kritis, dengan cara mengubah realitas yang dianggap menindas dan merugikan dan tidak sesuai dengan filosofi pendidikan. Pendekatan ini bertujuan untuk melakukan pembaharuan dan perubahan yang mendasar (revolusioner) dimasyarakat, dengan melakukan penentangan terhadap ketidakadilan, ketimpangan dan sistem yang menindas, melalui proses penyadaran kritis yang mencerahkan dan membebaskan.
E. CARUT MARUT PENDIDIKAN NASIONAL
Terlepas perdebatan atas pendidikan berbasis dunia kerja. Kita tidak boleh melupakan kondisi-kondisi lain dari pendidikan kita.
1. Anggaran pendidikan yang belum memenuhi kewajiban kenstitusinya. Bangsa ini ternyata belmu memeliki kesadaran atas pentingnya pendidikan, sehingga lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan yang lain dibandingkan dunia pendidikan. Celakanya lagi, bahwa anggaran pendidikan (yang sedikit itu) di korup di sana-sini. Sehingga Departemen Pendidikan Nasional tergolong instansi terkorup oleh BPK
2. Kesejahteraan Guru (Pendidik) yang masih jauh dari harapan. Dimana penghasilan setiap pendidik masih jauh dari pemenuhan kebutuhan kehidupannya. Akibatnya, konsentrasi dan kesiapan dalam proses belajar mengajar terganggu dan tidak matang. Guru memang bukanlah profesi yang menjanjikan secara materi kecuali sekedar gelar ”pahlawan tanpa tanda jasa”. Tingkat kesejahteraan yang rindah inilah memaksa para guru untuk mencari penghasilan diluar penghasilan sebagai guru untuk menutupi kekurangan kebutuhannya, yang akhirnya akan menggangu proses belajar-mengajar di sekolah.
3. Fasilitas pendidikan sangat minim dan sangat diskriminatif, dimana terdapat perbedaan yang sangat mencolok kepemilikan fasilitas pendidikan dibeberapa sekolah, akibatnya output yangdihasilkan pun sangat terpengaruh. Sehingga kita masih banyak temukan gedung-gedung sekolah yang hampir ambruk, gedung sekolah yang masih berdinding papan atau berlantai tanah, sekolah yang tidak memiliki perpustakaan (kalau pun ada, isinya adalah buku-buku lama). Sekolah yang tidak memiliki laboratorium
F. PENUTUP
Bangsa ini akan maju jika pengelolaan pendidikannya dikelolah secar benar. Sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki bangsa ini begitu banyak. Dan semuanya menunggu dari pengelolaan pendidikan yang tepat. Sehingga SDA dan SDM tersebut dapat mensejahterakan masyarakat bangsa ini. Termasuk Daerah Sulawesi Tengah sebenranya memiliki SDA dan SDM yang cukup banyak dan beragam.
Dibutuhkan model pendidikan revolusioner (Peter McLaren & Paula Allman) dengan paradigma kritis yakni pola pendidikan yang menekankan pengembangan danpenguatan kesadaran peserta didik atas realitas sehingga mereka dapat menempatkan diri sebagai subyek dalam realitas tidak sekedar obyek. Apalagi hanya sekedar tenaga kerja. Sebab yang dibutuhkan sekarang adalah jiwa kepemimpinan.
(Disampaikan dalam Seminar Pendidikan dan Dunia Kerja yang diselenggarakan oleh Korwil Korps PIIWati Sulteng, 09 Maret 2008)

Kapitalisme Pendidikan
Dua ideology ekstrim kapitalisme buah pemikiran dari dua pemikir besar; Adam Smith dan Karl Marx berada dalam suatu garis kontinum yang menunjukkan pengaruh dan sejauh mana kekuatan masing-masing dalam menentukan arah proses penyelenggaraan negara. Indonesia sebagai negara yang pluralis telah menyatakan bahwa pancasila adalah ideology bangsa yang wajib dijadikan pedoman oleh seluruh elemen dan golongan masyarakat. Namun, itu tidak serta merta menghilangkan pengaruh dua ideology ekstrim ini dalam menuntun arah pergerakan negara sebagai sebuah sistem.
Globalisasi, modernisasi, dan perdagangan bebas memberikan pengaruh terhadap pergerakan titik-titik kedua ideology ini dalam garis kontinum bangsa Indonesia. Akan tetapi, pengaruh yang muncul lebih banyak memberikan kekuatan kepada kapitalisme, atau dengan kata lain pengaruh kapitalisme lebih besar dari pada sosialisme di Indonesia. Hal ini membuat peran mekanisme pasar dan kekuatan modal jauh lebih besar daripada peran negara. Konsekuensi logis dari hal ini adalah penyebaran kekuatan kapitalisme ke dalam sub-sub sistem bangsa Indonesia. Kapitalisme hidup dan beranak-pinak dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan tak terkecuali pendidikan.
Pendidikan sebagai salah satu sub-sub sistem penting yang ikut menentukan keutuhan bangsa sebagai sebuah sistem telah menjadi “komoditas” kapitalisme. Komersialisasi pendidikan, eksploitasi anak didik, penutupan akses pendidikan, dan keberadaan uang di atas variabel-variabel lainnya adalah trickledown effect yang harus diterima akibat tekanan-tekanan interest-nya kaum kapitalis. Kepentingan-kepentingan kapitalisme tersebut sebenarnya hanya bermain pada tawar-menawar kepentingan dalam “pasar kekuasaan.” Setelah kapitalisme berhasil dalam perumusan kebijakan ditataran elit, maka kaum kapitalis cukup menunggu keuntungan demi keuntungan yang lambat laun akan mereka terima. Tetapi, mereka tidak sadar bahwa sesungguhnya mereka berdiri di atas penderitaan rakyat-rakyat “proletar” yang tidak mempunyai capital seperti yang dimiliki kaum kapitalis.
Salah satu bentuk permainan kapitalisme dalam perumusan kebijakan pendidikan bernama Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan anaknya Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Kebijakan ini ada yang sedang berjalan (BHMN) dan ada yang sedang dirumuskan (BHP). Namun, sejatinya keturunan-keturunan kapitalisme pendidikan itu mempunyai visi dan misi yang sama dengan orangtuanya yaitu mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan pihak-pihak yang tidak mempunyai capital yang besar, padahal sesungguhnya hak yang dimilikinya untuk menikmati pendidikan sama dengan kaum kapitalis. Dimanakah keadilan itu? Dan dimanakah Pancasila?

 Dengan silsilah seperti ini dunia pendidikan dipastikan secara inkremental akan menjadi milik orang-orang kelas atas yang bisa dengan mudah masuk ke dalam lembaga pendidikan tanpa adanya perasaan takut akan biaya pendidikan yang mahal, sedangkan kaum miskin apa bisa? Bermimpipun mereka takut apalagi untuk mendapatkan pendidikan murah berkualitas. Pemerintah bisa saja berkilah bahwa APBN sudah tidak sanggup lagi mensubsidi beberapa lembaga pendidikan dan universitas/sekolah juga berkilah bahwa pendidikan berkualitas membutuhkan biaya yang besar. Penjelasan mereka memang logis dan bisa dimaklumi, tapi apakah harus dengan menyedot dana yang sangat besar dari peserta didik? Padahal masih banyak sumber penerimaan pemerintah dan universitas yang lain, intinya adalah bagaimana kemampuan manajemen anggaran yang baik dan akuntabel. Namun, kelihatannya kekuatan kaum kapitalis sangat sulit ditandingi dan mau tidak mau kita juga harus rela menerima keberadaan anak cucu kapitalisme. Namun, kita harus tetap menghambat pergerakan kapitalisme pendidikan ini. Penghematan dana, Peningkatan kualitas manajemen anggaran, dan pemberantasan KKN adalah hal yang mutlak harus dilakukan apabila kita ingin BHP dan BHMN menjadi “anak durhakanya kapitalisme” dan menghambat penyebaran virus kapitalisme dalam bentuk komersialisasi pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar