Powered By Blogger

Sabtu, 21 November 2015

Zenfone 2 Laser, Smartphone Berkamera Hebat dengan Laser Auto Focus

Smartphone Idaman Para Jurnalis





    JAKARTA- ASUS Zenfestival 2015 resmi luncurkan 4 varian Zenfone terbaru. Produsen smartphone asal Taiwan ini melaunching Zenfone 2 Laser, Zenfone 2 selfie, Zenfone max, Zenfone deluxe. Semua seri Zenfone tersebut memiliki keunggulan masing-masing. Namun menurut penulis yang berprofesi sebagai seorang jurnalis ini memilih
Zenfone 2 Laser sangat cocok digunakan dan menjadi idaman para jurnalis.

Kenapa saya sebut  Zenfone 2 Laser idaman para jurnalis?



Para jurnalis  dalam setiap liputannya sangat membutuhkan kamera DSLR untuk mendapatkan hasil foto yang sangat menarik dan tentunya bisa fokus, akan tetapi dengan membawa kamera tersebut butuh cukup tenaga oleh seorang jurnalis. Zenfone 2 Laser bisa menjawab atas keluhan itu.Smartphone Berkamera Hebat dengan Laser Auto Focus.



Ada tiga varian Zenfone 2 Laser yang kini dihadirkan ASUS ke pasaran Indonesia yakni berukuran 5 inci, 5,5 inci dan 6 inci. Seluruh smartphone 4G LTE yang dipasarkan di harga terjangkau ini dilengkapi teknologi mutakhir dalam fotografi smartphone, yakni Laser Auto Focus.

“Pengguna dengan anggaran terbatas, yang mendambakan smartphone dengan desain premium seperti yang ditawarkan Zenfone 2 kini memiliki pilihan baru dalam wujud Zenfone 2 Laser,” kata Juliana Cen, Country Product Group Leader, ASUS Indonesia.

“Dengan harga yang lebih terjangkau, model ini bahkan menyediakan fitur Laser Auto Focus, keseimbangan yang lebih baik antara performa multimedia dan efisiensi energi,” sebutnya.

Keseimbangan Sempurna Performa Multimedia dan Efisiensi Baterai

Smartphone masa kini tentu tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, namun juga merupakan sebuah perangkat multimedia. “Pada Zenfone 2 Laser, ASUS menawarkan keseimbangan yang sempurna antara kinerja multimedia yang baik dengan efisiensi penggunaan baterai,” sebut Juliana.

Lini smartphone Zenfone 2 Laser hadir dengan sistem operasi Android 5.0.2 Lollipop dan diperkuat prosesor quad-core hingga octa-core dari Qualcomm. “Sepertidiketahui, lini prosesor QualcommSnapdragon menawarkan kinerja yang sangat memadai sekaligus efisiensi energi yang hebat,” ucapnya.

Meski dipasarkan di harga yang terjangkau, namun sama seperti smartphone flagship dari berbagai produsen, ASUS Zenfone 2 Laser sudah mengaplikasikan Gorilla Glass 4. Lapisan antigores terbaru dari Corning ini menawarkan daya tahan tahan 2 kali lebih baik saat terjatuh, mereduksi kemungkinan layar untuk pecah hingga 85% dan 2,5 kali lebih kuat dibandingkan dengan lapisan Gorilla Glass 3.

Demi menyediakan kenyamanan bagi pengguna, khususnya saat melakukan streaming video dari YouTube lewat konektivitas data kecepatan tinggi 4G LTE, ASUS menghadirkan Bluelight Filter pada display. Jika diaktifkan, ia akan mengurangi warna biru pada layar sehingga membuat tampilan dan warna display menjadi lebih lembut. Ini akan membuat mata tidak lekas lelah meski melihat ke layar terus menerus dalam waktu lama, menggunakan aplikasi apapun.

ASUS PixelMaster Camera with Laser Auto Focus
Dari sisi kamera, ASUS Zenfone 2 Laser menggunakan kamera utama dengan resolusi 13MP dengan lensa f/2.0 aperture yang mampu mengambil foto dengan resolusi 4128 x 3096pixel. Dengan dukungan zero shutter lag, Anda tidak perlu khawatir akan kehilangan momen berharga yang umumnya berlangsung sangat cepat. Yang menarik, kamera tersebut diperkuat fitur Laser Auto Focus.

Teknologi fokus dengan laser ini dapat mempercepat pencarian fokus terhadap obyek foto, baik jarak dekat ataupun jarak jauh, hingga 0,03 detik.Hasilnya, pengguna akan dapat mengambil foto yang lebih fokus dengan cepat dibandingkan sistem fokus biasa. Fitur fokus laser ini juga sangat membantu mendapatkan fokus dengan cepat dan tepat, misalnya saat memotret dalam kondisi kurang cahaya.

Dukungan teknologi khas ASUS PixelMaster Camera membuat smartphone ini mampu menangkap gambar dan video hingga 400% lebih terang saat dalam kondisi pencahayaan minimal. Jika dibutuhkan, tersedia pula dual-LED (dual tone) flash yang dapat membuat hasil foto terekam dengan warna yang lebih natural. Selain mengambil foto, kamera yang digunakan mampu merekam video dengan resolusi FullHD dengan kecepatan 30 frame per detik.

Untuk melengkapi, kamera depan yang disediakan juga memiliki resolusi yang cukup tinggi yakni 5MP serta dengan aperture f/2.0. Tak hanya resolusi yang tinggi, kamera ini juga mendukung autofocus untuk mendapatkan hasil foto yang lebih baik. Bahkan bagi pengguna yang gemar melakukan selfie, kamera depan juga menyediakan sudut yang lega, hingga 85o. Artinya, akan lebih banyak obyek yang bisa ditangkap dalam foto.
 Peluncuran jajaran ZenFone terbaru dalam ajang ASUS Zenfestival, Jakarta (1911/2015).

Penulis adalah peserta Zenfestival 2015 di Jakarta
Seorang Jurnalis, harian Pagi Jambi Star
CP. 085266756667

Senin, 06 Februari 2012

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA


BAB I

PENDAHULUAN

            Manusia adalah suatu mahluk somato-psiko-sosial dan karena itu maka suatu pendekatan terhadap manusia harus menyangkut semua unsur somatik, psikologik, dan social.
Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Psikologi menurut Plato dan Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.Menurut Wilhem Wundt (tokoh eksperimental) bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia , seperti penggunaan pancaindera, pikiran, perasaan, feeling dan kehendaknya.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya , bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya
Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan ada yang tidak , apakah ketidak percayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan pengalaman hidupnya.
1.1 Latar belakang masalah
Agama adalah juga fenomena sosial. Agama juga tak hanya ritual, menyangkut hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya belaka, tapi juga fenomena di luar kategori pengetahuan akademis. Sebagian manusia mempercayai agama, namun tidak pernah melakukan ritual. Yang lain mengaku tidak beragama, namun percaya sepenuhnya terhadap Tuhannya. Di luar itu semua, kita sering menyaksikan, dalam kondisi tertentu --semisal kesulitan hidup atau tertimpa musibah-- manusia cenderung berlari kepada agama. Sebaliknya, pada saat dirinya hidup dalam kondisi normal, mereka seringkali tidak peduli terhadap agama, bahkan mengingkari eksistensi Tuhannya.
Berangkat dari fenomena demikian, psikologi agama merupakan salah satu cara bagaimana melihat praktek-praktek keagamaan.
Sebagai gejala psikologi, agama rupanya cukup memberi pengertian tentang perlu atau tidaknya manusia beragama. Bahkan bila dicermati lebih jauh, ketika agama betul-betul tak sanggup lagi memberi pedoman bagi masa depan kehidupan manusia, kita bisa saja terinspirasi untuk menciptakan agama baru, atau setidaknya melakukan berbagai eksperimen baru sebagai jalan keluar dari berbagai problem yang menghimpit kehidupan.
1.2 Perumusan masalah
Adapun masalah yang akan dibahas didalam ini adalah tentang definisi-definisi dan arti-arti dari psikologi agama, juga bagaimana psikologi agama berperan dalam kehidupan, Juga bagaimana Psikologis atau ilmu jiwa mempelajari manusia dengan memandangnya dari segi kejiwaan yang menjadi obyek ilmu jiwa yaitu manusia sebagai mahluk berhayat yang berbudi. Sebagai demikian, manusia tidak hanya sadar akan dunia disekitarnya dan akan dorongan alamiah yang ada padanya, tetapi ia juga menyadari kesadaranya itu , manusia mempunyai kesadaran diri ia menyadati dirinya sebagai pribadi, person yang sedang berkembang.

BAB II 
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Psikologi Agama
Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama. Kedua kata ini memiliki pengetian yang berbeda. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. (Jalaluddin, et al, 1979:77). Menurut Robert H Thoules psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia (Robert H Thoules, 1992:13).
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Psikologi agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai tehnik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang seperti itu baik sekarang atau masa depan, Ilmu pengetahuan tidak mampu membuktikan ketidak-adaan Tuhan, karena tidak ada tehnik empiris untuk membuktikan adanya gejala yang tidak empiris, tetapi sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa. Psikologi agama sebagai ilmu pengetahuan empiria tidak menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifatNya tapi dalam psikologi agama dapat diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah laku manusia. Psikologi dapat menguraikan iman agama kelompok atau iman individu, dapat mempelajari lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan , tingkah laku keagamaan, atau pengalaman keagamaan , pengalaman keagamaan, hukum-hukum umum tetang terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran beragama dan persoalan empiris lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi manusia dengan pendirian dan perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya hidup keagamaan
Selanjutnya, agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Hal ini pula barangkali yang menyulitkan para ahli untuk memberi definisi yang tepat tentang agama. Harun Nasution merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu Al-Din, Religi (relegere, religare) dan agama. Al-Din (semit) berarti undang-undang atau hokum. Kemudian dalam bahasa arab, Kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (Lati) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari “a=tidakdan gam=pergi” mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun temurun.
Barangkali masih cukup banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang psikologi. Tetapi dari defenisi-defenisi yang dikemukakan tersebut secara umum psikologi mencoba meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada dibelakangnya. Karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak, maka untuk mempelajari kejiwaan manusia hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak, yaitu pada sikap dan tingkah laku yang ditampilkannya.

2.2  Sejarah Perkembangan Psikologi Agama
Untuk menetapkan secara pasti kapan psikologi agama mulai dipelajari memang terasa agak sulit. Baik dalam kitab suci, maupun sejarah tentang agama-agama tidak terungkap secara jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walaupun tidak secara lengkap, ternyata permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama  banyak dijumpai baik melalui informasi kitab suci agama maupun sejarah agama.
Perjalanan hidup Sidharta Gautama dari seorang putra raja kapilawastu yang bersedia mengorbankan kemegahan dan kemewahan hidup untuk menjadi seorang pertapa menunjukkan bagaimana kehidupan batin yang dialaminya dalam kaitan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Proses perubahan arah keyakinan agama ini mengungkapkan penglaman keagamaan yang mempengaruhi diri tokoh agama budha. Dan prose situ kemudian dalam psikologi agama disebut dengan konversi agama.
Sidharta Gautama yang putra raja itu, sejak kecil sudah hidup dalam lingkungan istana yang serba mewah. Tetapi, ketika usia remaja, saat melihat kehidupan masyarkat, Sidharta Gautama menyaksikan segala bentuk penderitaan manusia dari yang tua, sakit dan orang yang meninggal dunia. Pemandangan seperti itu tak pernah dilihat Sidharta Gautama sebelumnya. Dari dialog dengan pengawalnya, Sidharta Gautama berkesimpulan bahwa kehidupan manusia penuh dengan penderitaan, mengalami usia lanjut, sakit dan akhirnya akan mati.
Psikologi agama bukanlah ilmu yang pertama kali mempelajari agama. Bahkan jauh sebelumnya sudah ada disiplin ilmu yang mempelajari aspek-aspek agama secara objektif. Misalnya, Sejarah Agama-agama di dunia dan Ilmu Sosiologi mempelajari tingkah laku orang dalam kelompok tanpa memperhitungkan perbedaan kebudayaan yang ada. Sedangkan Antropologi social lebih banyak menumpahkan perhatiannya pada perbedaan kebudayaan yang ada. Baik dalam Sosiologi, maupun Antropologi Sosial, agama merupakan masalah penting yang tidak dapat dilewatkan begitu saja dalam penelitian-penelitiannya.
Sumber-sumber dari Barat mengungkapkan bahwa penelitian secara ilmiah tentang Agama dimulai dari kajian para Antropolog. Hasil penelitian Frazer & Taylor mengenai agama-agama primitif dinilai sebagai gerakan awal dari kajian itu. Selanjutnya sejumlah penelitian juga dilakukan oleh para Sosiolog, dan juga ahli Psikologi seperti Stanley Hall. Tetapi Edwin Diller Starbuck dipandang sebagai peletak dasar bagi penelitian modern dilapangan psikologi agama.
Perkembangan Psikologi Agama dapat dibagi menjadi beberapa fase, sesuai dengan waktu kronologisnya. Psikologi agama sendiri bukanlah cabang ilmu yang berdiri sendiri dari cabang ilmu induk yang sama, tetapi terdiri dari dua jenis ilmu yang berbeda asal-usulnya yakni Psikologi dan Agama. Psikologi bersifat empiris, fenomenyanya nyata dalam tingkah laku yang dapat diprediksi, sedangkan Agama bersifat non-empiris dan fenomenya didasarkan pada wahyu/sumber-sumber agama yang tidak dapat diprediksi. Psikologi mempelajari tingkah laku yang merupakan manifestsi dari jiwa, sedangkan Agama mempelajari kesholehan penganutnya sebagai manifestasi ketatannya. Tetapi dari sini dapat dilihat persamaannya, yakni sama-sama mempelajari tingkah laku/behavior, baik psikologi maupun agama (kesholehan ditunjukkan dengan perilaku sehari-hari).
Perkembangan Psikologi Agama sebelum Abad ke-19 (Fase Perintisan)
Sebelum abad ke-19, psikologi dan agama adalah dua disiplin ilmu yang berbeda. Agama banyak di pelajari oleh Sosisologi, Antropologi, Sejarah agama-agama, perbandingan agama (orientalisme). Agama dipandang berbeda dari setiap disiplin ilmu diatas, sesuai dengan arah kajian ilmu masing-masing. Psikologi sendiri baru dipandang sebagai ilmu sesudah Wilhelm Wund mendirikan laboratorium psikologi pada tahun 1879. Jiwa dalam psikologi dianggap abstrak, sehingga tidak dapat diamati, diuji dan diempiriskan. Psikologi dianggap sebagai disiplin ilmu karena objek kajiannya bukan pada jiwa, tetapi pada tingkah laku (behavior) yang merupakan manifestasi dari keadaan jiwa.
Agama mempengaruhi tingkah laku penganutnya. Tingkah laku penganut suatu agama didasarkan pada keyakinan akan suatu doktrin. Disini dapat ditarik kesimpulan persamaan Psikologi dan Agama, yakni objek kajiannya tingkah laku yang dipengaruhi oleh keadaan jiwa (keyakinan doktrin agama). Dari sinilah permulaan munculnya Psikologi agama sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Perkembangan Fase Awal (Abad Ke-19)
Yang pertama mengemukakan hasil penelitiannya secara ilmiah tentang agama ialah Frazer dan Taylor (Antropolog). Mereka membentangkan bermacam-macam agama primitif dan menemukan persamaan yang sangat jelas antara berbagai bentuk ibadah pada agama kristen dan ibadah orang-orang primitif.
Maka mulailah Ilmu Jiwa mengumpulkan bahan-bahan yang dikemukakan oleh ahli-ahli tersebut, ditambah pula dengan meneliti riwayat hidup dan hasil karya ahli-ahli tasawwuf dan ulama-ulama terkenal. Memang, Ilmu Jiwa Agama mendapatkn bahan-bahan dari ilmu-ilmu pengetahuan terdahulu seperti sejarah agama-agama yang mempelajari agama dari segi hasil sosialnya seperti ibadah, legenda-legenda (mitos-mitos), kepercayaan-kepercayaan, undang-undang kependetaan dan sebagainya.  
Demikian pula halnya dengan hasil-hasil penelitian yang dikemukakan oleh ahli-ahli sosisologi. Yang dapat menerangkan segi-segi sosial dalam agama, tapi tidak menyinggung kehidupan beragama dalam masing-masing individu. Dapat dikatakan bahwa pendekatan ilmiah dalam ilmu jiwa agama dimulai pada tahun 1881, ketika G. Stanley Hall sebagai salah seorang ahli psikologi dimasa itu mempelajari peristiwa konversi agama pada remaja.     
Psikologi Agama Awal Abad ke-20
Perkembangan psikologi Agama menempuh titik terang pada awal abad ke-20. Hal ini dapat dirangkan dengan terbitnya beberapa buku populer dari beberapa tokoh.
1.    Edwin Diller Starbuck
“The Psychology of Religion, An Empirical Study of the Growth of Religious Consciousness” yang terbit tahun 1899 mengupas petumbuhan perasaan agama pada orang. Buku ini dikatakan sebagai gerakan baru terhadap penelitian ilmiah dalam bidang Ilmu Jiwa Agama. Buku ini dapat dikatakan sebagai suatu riset ilmiah yang sistematis.
2.    George Albert Coe
Pada tahun 1900, menerbitkan buku “The Spiritual Life”. Buku ini berisi perkembangan agama remaja, dan agak menentang penekanan atas konversi. Dia menerangkan bahwa pada masa remaja banyak peristiwa konflik dan kegoncangan agama yang membawa pada perkembangan agama yang normal dan benar. Pada tahun 1916, terbit pula karangannya “The Psychology of Religion”.


3.    James H. Leuba
Sebelum meneliti tentang agama, dia mengumpulkan beberapa defenisi tentang agama. Dia mendapatkan 48 defenisi, dan menyimpulkan bahwa defenisi itu tidak ada gunanya, karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah. Pada bulan Januari 1901, sebuah karangannya “Introduction to a Psychological Study of Religion” dimuat di “The Monist vol. XI”. Kemudian pada tahun 1912, diterbitkannya buku “A Psychological Study of Religion” dan ”The Belief in God and Immortality” pada tahun 1921.
4.    G. Stanley Hall
Buku “Adolescence” yang terbit tahun 1881, menerangkan psikologi remaja dan konversi agama pada remaja. Dalam penitiannya terhdap remaja-remaja pada tahun 1904, ditemukannya persesuaian antara pertumbuhan jiwa agama pada tiap individu,dengan petumbuhan emosi den kecenderungan terhadap jenis lain (lawan jenis). Bukunya yang lain “Jesus the Christ” (1917)
5.    William James
“The Varieties of Religious Experience” (1902), adalah hasil karangannya selama setahun ketika dia menderita sakit. Buku ini berisi penuh dengan keterangan-keterangan, dilengkapi pula dengan data-data dari kasus-kasus pribadi tentang pengalaman agama. Buku ini hanya mengulas satu segi saja, yakni perkembangan agama perseorangan (individual) atau agama yang dirasakan oleh masing-masing individu, itupun terbatas pada ahli-ahli agama dan bukan orang biasa.
6.    George M. Stratton
Pada tahun 1911 terbit buku Stratton, “Psychology of  Religious Life”. Dia berpendapat bahwa sumber agama itu adalah konflik jiwa dalam diri individu.
7.    Fluornoy
Pada tahun 1901, Fluornoy berusaha mengumpulkan semua penelitian psikologis yang pernah dilakukan terhadap agama. Dia menamkan penelitian semacam itu dengan “Ilmu Jiwa Agama”. Diantara kesimpulan yang didapatnya dari penelitiannya terhadap cara pengumpulan data-data Psikologi Agama sebelumnya adalah:
a)      Menjauhkan penelitian dari transcendence
b)      Prinsip mempelajari perkembangan
c)      Prinsip perbandingan
d)     Prinsip Dinamika
8.    James B. Pratt
“The Religious Consciousness” (1920), dengan terbitnya buku ini psikologi agama semakin maju. Dia menulis buku ini sesuai dengan apa yang dirasakannya sendiri. Dia mengupas sembahyang dari sisi sobjektif dan objektifnya.
9.    Rudolf Otto
Buku “Das Heilige” yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris tahun 1923. Buku ini berisi pengalaman-pengalaman psikologis dari pengertian tentang kesucian, yang diambilnya sebagai pokok dalam hal ini adalah sembahyang.
10.  Pierre Bovet
Tahun 1918 Pierre Bovet mengadakan penelitian terhadap dokumen-dokumen yang berisi psikologis dan paedagogis pengaruh pendidikan agama pada masa kecil (anak-anak). Hasil dikumpulkan pada sebuah buku “Le Sentiment Religieux et La Psychologie de L’Enfant”. Dari penelitian ini, Bovet mendapat ksimpulan bahwa “agama anak-anak tidak berbeda dari agama orang dewasa”.
11.  R.H. Thouless
“An Introduction to the Psychology of Religion” yang terbit tahun 1922. Thouless menentang pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa penelitian Ilmiah akan menghilangkan keyakinan beragama, ia berpendapat sebaliknya, dimana penelitian secara ilmiah akan dapat menjadi sandaran yang kuat bagi agama. Ia mempelajari Ilmu Jiwa Agama dengan dasar-dasar penelitian secara Filsafat.
12.  Sante de Sanctis
Pada tahun 1927 dari hasil penyelidikannya dan menerbitkan “Religious Conversion” dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Flournoy. Dia berpendapat bahwa ilmu jiwa agama adalah usaha untuk memahami tidakan agamis dari seseorang, dilihat dari proses jiwa yang terkenal dalam ilmu jiwa.

13.  Walter Houston. Clark
“The Psychology of Religion” (1958), buku ini berisi proses-proses dan dinamika jiwa agama sejak anak-anak sampai dewasa.

Psikologi Agama dalam Dunia Timur (Islam) 
Dalam buku “Ihya ‘Ulm al-Din” karangan Imam al-Ghozali banyak berbicara mengenai kehidupan beragama. Dia menguraikan pengaruh ajaran agama terhadap kehidupan beragama. “Al Munqis minal-Dhalal” juga karangan Imam al-Ghozali, menguraikan tentang konversi agama yang dipahami sebagai masa pematangan beragama. Al-Malighy (1955) dalam bukunya “Tatawwuf al-Syu’ur al-Diny ‘Inda Tifl wa al-Murabiq”, membahas tentang perkembangan rasa agama pada anak-anak dan remaja.
            Buku lain yang mencoba membahas psikologi agama dengan memberi nama lain yaitu “Nafsiologi”, dalam buku Sukanto Mulyomartono dengan judul “Nafsiologi, suatu pendekatan alternative dalam psikologi
            Banyak buku lain yang merupakan karangan-karangan orang muslim yang membahas tentang perkembangan psikologi dan agama. Perlu dicatat bahwa, adanya kemandekan perkembangan psikologi agama di dunia Barat, tampaknya hampir tidak dirasakan oleh dunia Islam. Di Barat, tampaknya sulit untuk mempersatukan persepsi tentang perlunya kajian ilmiah mengenai agama, dan ilmu, karena masih trauma dengan abad pertengahan.

 BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama. Kedua kata ini memiliki pengetian yang berbeda. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. (Jalaluddin, et al, 1979:77). Menurut Robert H Thoules psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia (Robert H Thoules, 1992:13).
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Untuk menetapkan secara pasti kapan psikologi agama mulai dipelajari memang terasa agak sulit. Baik dalam kitab suci, maupun sejarah tentang agama-agama tidak terungkap secara jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walaupun tidak secara lengkap, ternyata permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama  banyak dijumpai baik melalui informasi kitab suci agama maupun sejarah agama.
Perjalanan hidup Sidharta Gautama dari seorang putra raja kapilawastu yang bersedia mengorbankan kemegahan dan kemewahan hidup untuk menjadi seorang pertapa menunjukkan bagaimana kehidupan batin yang dialaminya dalam kaitan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Proses perubahan arah keyakinan agama ini mengungkapkan penglaman keagamaan yang mempengaruhi diri tokoh agama budha. Dan prose situ kemudian dalam psikologi agama disebut dengan konversi agama.

DAFTAR PUSTAKA
 
Drs H. Ahmad Fauzi , Psikologi Umum Pustaka setia Bandung, 2004
Jalaluddin Rakhmat , Psikologi Agama sebuah pengatar, Mizan 2004
Daradjat, Zakiah, Prof. Dr. 1991. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang
Ramayulis, H, Prof, Dr. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia
Jalaluddin, H, Prof, Dr. 2008. Psikologi Agama. Jakarta: Grafindo Persada
Sou’yb, Yoesoef. 1985. Orientalisme dan Islam. Jakarta: Bulan Bintang

MAKALAH KEPEMIMPINAN


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalau berinteraksi dengan sesame serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil.
Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati & menghargai. Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan & menjaga kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi disbanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah & memilih mana yang baik & mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik.
Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan social manusiapun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri.

1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang penulis uraikan, banyak permasalahan yang penulis dapatkan. Permasalahan tsb antara lain :
  1. Bagaimana hakikat menjadi seorang pemimpin?
  1. 2. Adakah teori – teori untuk menjadi pemimpin yang baik?
  2. 3. Apa & bagaimana menjadi pemimpin yang melayani?
  3. 4. Apa & bagaimana menjadi pemimpin sejati?
  4. Bagaimana hubungan kearifan lokal dengan kepemimpinan?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Kepemimpinan
Dalam kehidupan sehari – hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan sampai dengan pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan. Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan yang berkaitan satu dengan lainnya.
Beberapa ahli berpandapat tentang Pemimpin, beberapa diantaranya :
Ø  Menurut Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan, Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan.
Ø  Menurut Robert Tanembaum, Pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang formal untuk mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan.
Ø  Menurut Prof. Maccoby, Pemimpin pertama-tama harus seorang yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Pemimpin yang baik untuk masa kini adalah orang yang religius, dalam artian menerima kepercayaan etnis dan moral dari berbagai agama secara kumulatif, kendatipun ia sendiri mungkin menolak ketentuan gaib dan ide ketuhanan yang berlainan.
Ø  Menurut Lao Tzu, Pemimpin yang baik adalah seorang yang membantu mengembangkan orang lain, sehingga akhirnya mereka tidak lagi memerlukan pemimpinnya itu.
Ø  Menurut Davis and Filley, Pemimpin adalah seseorang yang menduduki suatu posisi manajemen atau seseorang yang melakukan suatu pekerjaan memimpin.
Ø  Sedangakn menurut Pancasila, Pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh yang mendorong, menuntun, dan membimbing asuhannya. Dengan kata lain, beberapa asas utama dari kepemimpinan Pancasila adalah :
Ing Ngarsa Sung Tuladha : Pemimpin harus mampu dengan sifat dan perbuatannya menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan bagi orang – orang yang dipimpinnya.
Ing Madya Mangun Karsa : Pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang – orang yang dibimbingnya.
Tut Wuri Handayani : Pemimpin harus mampu mendorong orang – orang yang diasuhnya berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.
Seorang pemimpin boleh berprestasi tinggi untuk dirinya sendiri, tetapi itu tidak memadai apabila ia tidak berhasil menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Dari begitu banyak definisi mengenai pemimpin, dapat penulis simpulkan bahwa : Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan pap yang diinginkan pihak lainnya.”The art of influencing and directing meaninsuch away to abatain their willing obedience, confidence, respect, and loyal cooperation in order to accomplish the mission”. Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhidan menggerakkan orang – orang sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal untuk menyelesaikan tugas – Field Manual 22-100.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya. Ketiga kata yaitu pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan yang dijelaskan sebelumnya tersebut memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.
Fungsi pemimpin dalam suatu organisasi tidak dapat dibantah merupakan sesuatu fungsi yang sangat penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan. Pada dasarnya fungsi kepemimpinan memiliki 2 aspek yaitu :
- Fungsi administrasi, yakni mengadakan formulasi kebijaksanakan administrasi dan menyediakan fasilitasnya.
- Fungsi sebagai Top Mnajemen, yakni mengadakan planning, organizing, staffing, directing, commanding, controling, dsb.

2.2 Teori Kepemimpinan
Memahami teori-teori kepemimpinan sangat besar artinya untuk mengkaji sejauh mana kepemimpinan dalam suatu organisasi telah dapat dilaksanakan secara efektif serta menunjang kepada produktifitas organisasi secara keseluruhan. Dalam karya tulis ini akan dibahas tentang teori dan gaya kepemimpinan.
Seorang pemimpin harus mengerti tentang teori kepemimpinan agar nantinya mempunyai referensi dalam menjalankan sebuah organisasi. Beberapa teori tentang kepemimpinan antara lain :
a. Teori Kepemimpinan Sifat ( Trait Theory )
Analisis ilmiah tentang kepemimpinan berangkat dari pemusatan perhatian pemimpin itu sendiri. Teori sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan ”The Greatma Theory”. Dalam perkembanganya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwa sifat – sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu antara lain : sifat fisik, mental, dan kepribadian.
Keith Devis merumuskan 4 sifat umum yang berpengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, antara lain :
• Kecerdasan
Berdasarkan hasil penelitian, pemimpin yang mempunyai kecerdasan yang tinggi di atas kecerdasan rata – rata dari pengikutnya akan mempunyai kesempatan berhasil yang lebih tinggi pula. Karena pemimpin pada umumnya memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengikutnya.
• Kedewasaan dan Keluasan Hubungan Sosial
Umumnya di dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan internal maupun eksternal, seorang pemimpin yang berhasil mempunyai emosi yang matang dan stabil. Hal ini membuat pemimpin tidak mudah panik dan goyah dalam mempertahankan pendirian yang diyakini kebenarannya.
• Motivasi Diri dan Dorongan Berprestasi
Seorang pemimpin yang berhasil umumnya memiliki motivasi diri yang tinggi serta dorongan untuk berprestasi. Dorongan yang kuat ini kemudian tercermin pada kinerja yang optimal, efektif dan efisien.
• Sikap Hubungan Kemanusiaan
Adanya pengakuan terhadap harga diri dan kehormatan sehingga para pengikutnya mampu berpihak kepadanya
b. Teori Kepemimpinan Perilaku dan Situasi
Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan teori ini memiliki kecendrungan kearah 2 hal.
Pertama yang disebut dengan Konsiderasi yaitu kecendrungan seorang pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Contoh gejala yang ada dalam hal ini seperti : membela bawahan, memberi masukan kepada bawahan dan bersedia berkonsultasi dengan bawahan.
Kedua disebut Struktur Inisiasi yaitu Kecendrungan seorang pemimpin yang memberikan batasan kepada bawahan. Contoh yang dapat dilihat , bawahan mendapat instruksi dalam pelaksanaan tugas, kapan, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan hasil yang akan dicapai.
Jadi, berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang baik adalah bagaimana seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi kepada bawahan dan terhadap hasil yang tinggi pula.
c. Teori Kewibawaan Pemimpin
Kewibawaan merupakan faktor penting dalam kehidupan kepemimpinan, sebab dengan faktor itu seorang pemimpin akan dapat mempengaruhi perilaku orang lain baik secara perorangan maupun kelompok sehingga orang tersebut bersedia untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh pemimpin.
d. Teori Kepemimpinan Situasi
Seorang pemimpin harus merupakan seorang pendiagnosa yang baik dan harus bersifat fleksibel, sesuai dengan perkembangan dan tingkat kedewasaan bawahan.
e. Teori Kelompok
Agar tujuan kelompok (organisasi) dapat tercapai, harus ada pertukaran yang positif antara pemimpin dengan pengikutnya.
Dari adanya berbagai teori kepemimpinan di atas, dapat diketahui bahwa teori kepemimpinan tertentu akan sangat mempengaruhi gaya kepemimpinan (Leadership Style), yakni pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan segenap filsafat, keterampilan dan sikapnya. Gaya kepemimpinan adalah cara seorang pemimpan bersikap, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang lain dalam mempengaruhi orang untuk melakukan sesuatu.Gaya tersebut bisa berbeda – beda atas dasar motivasi , kuasa ataupun orientasi terhadap tugas atau orang tertentu. Diantara beberapa gaya kepemimpinan, terdapat pemimpin yang positif dan negatif, dimana perbedaan itu didasarkan pada cara dan upaya mereka memotivasi karyawan. Apabila pendekatan dalam pemberian motivasi ditekankan pada imbalan atau reward (baik ekonomis maupun nonekonomis) berartitelah digunakan gaya kepemimpinan yang positif. Sebaliknya jika pendekatannya menekankan pada hukuman atau punishment, berarti dia menerapkan gaya kepemimpinan negatif. Pendekatan kedua ini dapat menghasilakan prestasi yang diterima dalam banyak situasi, tetapi menimbulkan kerugian manusiawi.

Selain gaya kepemimpinan di atas masih terdapat gaya lainnya:
• Otokratis
Kepemimpinan seperti ini menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya. Kekuasaan sangat dominan digunakan. Memusatkan kekuasaan dan pengambilan keputusan bagi dirinya sendiri, dan menata situasi kerja yang rumit bagi pegawai sehingga mau melakukan apa saja yang diperintahkan. Kepemimpinan ini pada umumnya negatif, yang berdasarkan atas ancaman dan hukuman. Meskipun demikian, ada juga beberapa manfaatnya antaranya memungkinkan pengambilan keputusan dengan cepat serta memungkinkan pendayagunaan pegawai yang kurang kompeten.
• Partisipasif
Lebih banyak mendesentrelisasikan wewenang yang dimilikinya sehingga keputusan yang diambil tidak bersifat sepihak.
• Demokrasi
Ditandai adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Di bawah kepemimpinan pemimpin yang demokrasis cenderung bermoral tinggi dapat bekerjasama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri.
• Kendali Bebas
Pemimpin memberikan kekuasaan penuh terhadap bawahan, struktur organisasi bersifat longgar dan pemimpin bersifat pasif. Yaitu Pemimpin menghindari kuasa dan tanggung – jawab, kemudian menggantungkannya kepada kelompok baik dalam menetapkan tujuan dan menanggulangi masalahnya sendiri.
Dilihat dari orientasi si pemimpin, terdapat dua gaya kepemimpinan yang diterapkan, yaitu gaya konsideral dan struktur, atau dikenal juga sebagai orientasi pegawai dan orientasi tugas. Beberapa hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa prestasi dan kepuasan kerja pegawai dapat ditingkatkan apabila konsiderasi merupakan gaya kepemimpinan yang dominan. Sebaliknya, para pemimpin yang berorientasi tugas yang terstruktur, percaya bahwa mereka memperoleh hasil dengan tetap membuat orang – orang sibuk dan mendesak mereka untuk berproduksi.
Pemimpin yang positif, partisipatif dan berorientasi konsiderasi,tidak selamanya merupakan pemimpinyan terbaik.fiedler telah mengembakan suatumodel pengecualian dari ketiga gaya kepemimpinan diatas,yakni model kepemimpinan kontigennis. model ini nyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling sesuai bergantung pada situasi dimana pemimpin bekerja.dengan teorinya ini fiedler ingin menunjukkan bahwa keefektifan ditunjukkan oleh interaksi antara orientasi pegawai dengan 3 variabel yang berkaitan dengan pengikut, tugas dan organisasi. Ketiga variabel itu adalah hubungan antara pemimpin dengan anngota ( Leader – member rolations), struktur tugas (task strukture), dan kuasa posisi pemimpin (Leader position power). Variabel pertama ditentukan oleh pengakuan atau penerimaan (akseptabilitas) pemimpin oleh pengikut, variabel kedua mencerminkan kadar diperlukannya cara spesifik untuk melakukan pekerjaan, variabel ketiga menggambarkan kuasa organisasi yang melekat pada posisi pemimpin.
Model kontingensi Fieldler ini serupa dengan gaya kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard. Konsepsi kepemimpinan situasional ini melengkapi pemimpin dengan pemahaman dari hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan (muturity) pengikutnya.perilaku pengikut atau bawahan ini amat penting untuk mengetahui kepemimpinan situasional, karena bukan saja pengikut sebagai individu bisa menerima atau menolak pemimpinnya, akan tetapi sebagai kelompok , pengikut dapat menemukan kekuatan pribadi apapun yang dimiliki pemimpin.
Menurut Hersey dan Blanchard (dalam Ludlow dan Panton,1996 : 18 dst), masing – masing gaya kepemimpinan ini hanya memadai dalm situasi yang tepat meskipun disadari bahwa setiap orang memiliki gaya yang disukainya sendiri dan sering merasa sulit untuk mengubahnya meskipun perlu.
Banyak studi yang sudah dilakukan untuk melihat gaya kepemimpinan seseorang. Salah satunya yang terkenal adalah yang dikemukakan oleh Blanchard, yang mengemukakan 4 gaya dari sebuah kepemimpinan. Gaya kepemimpinan ini dipengaruhi oleh bagaimana cara seorang pemimpin memberikan perintah, dan sisi lain adalah cara mereka membantu bawahannya. Keempat gaya tersebut adalah:


• Directing
Gaya tepat apabila kita dihadapkan dengan tugas yang rumit dan staf kita belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut. Atau apabila anda berada di bawah tekanan waktu penyelesaian. Kita menjelaskan apa yang perlu dan apa yang harus dikerjakan. Dalam situasi demikian, biasanya terjadi over-communicating (penjelasan berlebihan yang dapat menimbulkan kebingungan dan pembuangan waktu). Dalam proses pengambilan keputusan, pemimpin memberikan aturan –aturan dan proses yang detil kepada bawahan. Pelaksanaan di lapangan harus menyesuaikan dengan detil yang sudah dikerjakan.
• Coaching
Pemimpin tidak hanya memberikan detil proses dan aturan kepada bawahan tapi juga menjelaskan mengapa sebuah keputusan itu diambil, mendukung proses perkembangannya, dan juga menerima barbagai masukan dari bawahan. Gaya yang tepat apabila staf kita telah lebih termotivasi dan berpengalaman dalam menghadapi suatu tugas. Disini kita perlu memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengerti tentang tugasnya, dengan meluangkan waktu membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan mereka.
• Supporting
Sebuah gaya dimana pemimpin memfasiliasi dan membantu upaya bawahannya dalam melakukan tugas. Dalam hal ini, pemimpin tidak memberikan arahan secara detail, tetapi tanggung jawab dan proses pengambilan keputusan dibagi bersama dengan bawahan. Gaya ini akan berhasil apabila karyawan telah mengenal teknik – teknik yang dituntut dan telah mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan anda. Dalam hal ini kita perlumeluangkan waktu untuk berbincang – bincang, untuk lebih melibatkan mereka dalam penganbilan keputusan kerja, serta mendengarkan saran – saran mereka mengenai peningkatan kinerja.
• Delegating
Sebuah gaya dimana seorang pemimpin mendelegasikan seluruh wewenang dan tanggung jawabnya kepada bawahan. Gaya Delegating akan berjalan baik apabila staf kita sepenuhnya telah paham dan efisien dalm pekerjaan, sehingga kita dapat melepas mereka menjalankan tugas atau pekerjaan itu atas kemampuan dan inisiatifnya sendiri.
Keempat gaya ini tentu saja mempunyai kelemahan dan kelebihan, serta sangat tergantung dari lingkungan di mana seorang pemimpin berada, dan juga kesiapan dari bawahannya. Maka kemudian timbul apa yang disebut sebagai ”situational leadership”. Situational leadership mengindikasikan bagaimana seorang pemimpin harus menyesuaikan keadaan dari orang – orang yang dipimpinnya.
Ditengah – tengah dinamika organisasi (yang antara lain diindikasikan oleh adanya perilaku staf / individu yang berbeda – beda), maka untuk mencapai efektivitas organisasi, penerapan keempat gaya kepemimpinan diatas perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan. Inilah yang dimaksud dengan situasional lesdership,sebagaimana telah disinggung di atas. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya kepemimpinan situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga kemampuan khusus yakni :
Kemampuan analitis (analytical skills) yakni kemampuan untuk menilai tingkat pengalaman dan motivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.
Kemampuan untuk fleksibel (flexibility atau adaptability skills) yaitu kemampuan untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan analisa terhadap situasi.
Kemampuan berkomunikasi (communication skills) yakni kemampuan untuk menjelaskan kepada bawahan tentang perubahan gaya kepemimpinan yang kita terapkan.
Ketiga kemampuan di atas sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin, sebab seorang pemimpin harus dapat melaksanakan tiga peran utamanya yakni peran interpersonal, peran pengolah informasi (information processing), serta peran pengambilan keputusan (decision making) (Gordon, 1996 : 314-315).
Jika saja Indonesia memiliki pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Maka jika ingin menjadi pemimpin yang baik jangan pikirkan orang lain, pikirkanlah diri sendiri dulu. Tidak akan bisa mengubah orang lain dengan efektif sebelum merubah diri sendiri. Bangunan akan bagus, kokoh, megah, karena ada pondasinya. Maka sibuk memikirkan membangun umat, membangun masyarakat, merubah dunia akan menjadi omong kosong jika tidak diawali dengan diri sendiri. Merubah orang lain tanpa merubah diri sendiri adalah mimpi mengendalikan orang lain tanpa mengendalikan diri.

2.3. Kepemimpinan yang Melayani
Merenungkan kembali arti makna kepemimpinan, sering diartikan kepemimpinan adalah jabatan formal, yang menuntut untuk mendapat fasilitas dan pelayanan dari konstituen yang seharusnya dilayani. Meskipun banyak di antara pemimpin yang ketika dilantik mengatakan bahwa jabatan adalah sebuah amanah, namun dalam kenyataannya sedikit sekali atau bisa dikatakan hampir tidak ada pemimpin yang sungguh – sungguh menerapkan kepemimpinan dari hati, yaitu kepemimpinan yang melayani.
1. Karakter Kepemimpinan
Hati Yang Melayani
Kepemimpianan yang melayani dimulai dari dalam diri kita. Kepemimpinan menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan yang melayani dimulai dari dalam dan kemudian bergerak keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin yang diterima oleh rakyat yang dipimpinnya. Kembali kita saksikan betapa banyak pemimpin yang mengaku wakil rakyat ataupun pejabat publik, justru tidak memiliki integritas sama sekali, karena apa yang diucapkan dan dijanjikan ketika kampanye dalam pemilu tidak sama dengan yang dilakukan ketika sudah duduk nyaman di kursinya.
Paling tidak menurut Ken Blanchard dan kawan – kawan, ada sejumlah ciri –ciri dan nilai yang muncul dari seorang pemimpin yang memiliki hati yang melayani,yaitu tujuan utama seorang pemimpin adalah melayani kepentingan mereka yang dipimpinnya. Orientasinya adalah bukan untuk kepentingan diri pribadi maupun golongan tapi justru kepentingan publik yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin memiliki kerinduan untuk membangun dan mengembangkan mereka yang dipimpinnya sehingga tumbuh banyak pemimpin dalam kelomponya. Hal ini sejalan dengan buku yang ditulis oleh John Maxwell berjudul Developing the Leaders Around You. Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung dari kemampuannya untuk membangun orang – orang di sekitarnya, karena keberhasilan sebuah organisasi sangat tergantung pada potensi sumber daya manusia dalam organisasi tersebut. Jika sebuah organisasi atau masyarakat mempunyai banyak anggota dengan kualitas pemimpin, organisasi atau bangsa tersebut akan berkembang dan menjadi kuat.
Pemimpin yang melayani memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang dipimpinnya. Kasih itu mewujud dalam bentuk kepedulian akan kebutuhan, kepentingan, impian da harapan dari mereka yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin yang memiliki hati yang melayani adalah akuntabilitas ( accountable ). Istilah akuntabilitas adalah berarti penuh tanggung jawab dan dapat diandalkan. Artinya seluruh perkataan,pikiran dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada public atau kepada setiap anggota organisasinya.
Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar setiap kebutuhan, impian, dan harapan dari mereka yang dipimpin. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang dapat mengendalikam ego dan kepentingan pribadinya melebihi kepentingan public atau mereka yang dipimpinnya. Mengendalikan ego berarti dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun tantangan yang dihadapi menjadi begitu berat,selalu dalam keadaan tenang, penuh pengendalian diri, dan tidak mudah emosi.



2. Metode Kepemimpinan
Kepala Yang Melayani
Seorang pemimpin tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter semata, tapi juga harus memiliki serangkaian metode kepemimpinan agar dapat menjadi pemimpin yang efektif. Banyak sekali pemimpin memiliki kualitas sari aspek yang pertama yaitu karakter dan integritas seorang pemimpin, tetapi ketika menjadi pimpinan formal, justru tidak efektif sama sekali karena tidak memiliki metode kepemimpinan yang baik. Contoh adalah para pemimpin yang diperlukan untuk mengelola mereka yang dipimpinnya.
Tidak banyak pemimpin yang memiliki metode kepemimpinan ini. Karena hal ini tidak pernah diajarkan di sekolah – sekolah formal. Keterampilan seperti ini disebut dengan Softskill atau Personalskill. Dalam salah satu artikel di economist.com ada sebuah ulasan berjudul Can Leadership Be Taught, dibahas bahwa kepemimpinan (dalam hal ini metode kepemimpinan) dapat diajarkan sehingga melengkapi mereka yang memiliki karakter kepemimpinan. Ada 3 hal penting dalam metode kepemimpinan, yaitu :
Kepemimpinan yang efektif dimulai dengan visi yang jelas. Visi ini merupakan sebuah daya atau kekuatan untuk melakukan perubahan, yang mendorong terjadinya proses ledakan kreatifitas yang dahsyat melalui integrasi maupun sinergi berbagai keahlian dari orang – orang yang ada dalam organisasi tersebut. Bahkan dikatakan bahwa nothing motivates change more powerfully than a clear vision. Visi yang jelas dapat secara dahsyat mendorong terjadinya perubahan dalam organisasi. Seorang pemimpin adalah inspirator perubahan dan visioner yaitu memiliki visi yang jelas kemana organisasinya akan menuju. Kepemimpinan secara sederhana adalah proses untuk membawa orang – orang atau organisasi yang dipimpin menuju suatu tujuan yang jelas. Tanpa visi, kepemimpinan tidak ada artinya sama sekali. Visi inilah yang mendorong sebuah organisasi untuk senantiasa tumbuh dan belajar serta berkembang dalam mempertahankan survivalnya sehingga bias bertahan sampai beberapa generasi. Ada 2 aspek mengenai visi, yaitu visionary role dan implementation role. Artinya seorang pemimpin tidak hanya dapat membangun atau menciptakan visi bagi organisasinya tapi memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan visi tsb ke dalam suatu rangkaian tindakan atau kegiatan yang diperlukan untuk mencapai visi itu.
Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang yang responsive. Artinya dia selalu tanggap terhadap setiap persoalan, kebutuhan, harapan, dan impian dari mereka yang dipimpin. Selain itu selalu aktif dan proaktif dalam mencari solusi dari setiap permasalahan ataupun tantangan yang dihadapi.
Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang pelatih atau pendamping bagi orang – orang yang dipimpinnya (performance coach). Artinya dia memiliki kemempuan untuk menginspirasi, mendorong dan memampukan anak buahnya dalam menyusun perencanaan (termasuk rencana kegiatan, target atau sasaran, rencana kebutuhan sumber daya, dsb), melakukan kegiatan sehari – hari seperti monitoring dan pengendalian, serta mengevaluasi kinerja dari anak buahnya.

3. Perilaku Kepemimpinan
Tangan Yang Melayani
Pemimpin yang melayani bukan sekedar memperlihatkan karakter dan integritas, serta memiliki kemampuan metode kepemimpinan, tapi dia harus menunjukkan perilaku maupun kebiasaan seorang pemimpin. Dalam buku Ken Blanchard disebutka perilaku seorang pemimpin, yaitu :
Pemimpin tidak hanya sekedar memuaskan mereka yang dipimpin, tapi sungguh – sungguh memiliki kerinduan senantiasa untuk memuaskan Tuhan. Artinya dia hidup dalam perilaku yang sejalan dengan firman Tuhan. Dia memiliki misi untuk senantiasa memuliakan Tuhan dalam setiap apa yang dipikirkan, dikatakan, dan diperbuatnya.
Pemimpin focus pada hal – hal spiritual dibandingkan dengan sekedar kesuksesan duniawi. Baginya kekayaan dan kemakmuran adalah untuk dapat memberi dan beramal lebih banyak. Apapun yang dilakukan bukan untuk mendapat penghargaan, tapi melayani sesamanya. Dan dia lebih mengutamakan hubungan atau relasi yang penuh kasih dan penghargaan, dibandingkan dengan status dan kekuasaan semata.
Pemimpin sejati senantiasa mau belajar dan bertumbuh dalam berbagai aspek , baik pengetahuan, kesehatan, keuangan, relasi, dsb. Setiap harinya senantiasa menyelaraskan (recalibrating ) dirinya terhadap komitmen untuk melayani Tuhan dan sesame. Melalui solitude (keheningan), prayer (doa), dan scripture (membaca Firman Tuhan ).
Demikian kepemimpinan yang melayani menurut Ken Blanchard yang sangat relevan dengan situasi krisis kepemimpinan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Bahkan menurut Danah Zohar, penulis buku Spiritual Intelligence: SQ the Ultimate Intelligence, salah satu tolak ukur kecerdasan spiritual adalah kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Bahkan dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Gay Hendrick dan Kate Luderman, menunjukkan pemimpin – pemimpin yang berhasil membawa perusahaannya ke puncak kesuksesan biasanya adalah pemimpin yang memiliki SQ yang tinggi. Mereka biasanya adalah orang –orang yang memiliki integritas, terbuka, mampu menerima kritik, rendah hati, mampu memahami spiritualitas yang tinggi, dan selalu mengupayakan yang terbaik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain.

2.4 . Kepemimpinan dan Kearifan Lokal
Kearifan local yaitu spirit local genius yang disepadankan maknanya dengan pengetahuan, kecerdikan,kepandaian, keberilmuan, dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan dan berkenaan dengan penyelesaian masalah yang relative pelik dan rumit,
Dalam suatu local (daerah ) tentunya selalu diharapkan kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang (harmonis). Kehidupan yang penuh kedamaian dan suka cita. Kehidupan yang dipimpin oleh pimpinan yang dihormati bawahannya. Kehidupan yang teratur dan terarah yang dipimpin oleh pimpinan yang mampu menciptakan suasana kondusif.
Kehidupan manusia tidak lepas dari masalah. Serangkaian masalah tidaklah boleh didiamkan. Setiap masalah yang muncul haruslah diselesaikan. Dengan memiliki jiwa kepemimpinan, seseorang akan mampu menaggulangi setiap masalah yang muncul.
Manusia di besarkan masalah. Dalam kehidupan local masyarakat, setiap masalah yang muncul dapat ditanggulangi dengan kearifan local masyarakat setempat. Contohnya adalah masalah banjir yang di alami masyarakat di berbagai tempat. Khususnya di Bali, seringkali terjadi banjir di wilayah Kuta. Sebagai tempat tujuan wisata dunia tentu hal ini sangat tidak menguntungkan. Masalah ini haruslah segera ditangani. Dalam hal pembuatan drainase dan infrastruktur lainnya, diperlukan kematangan rencana agar pembangunan yang dilaksanakan tidak berdampak buruk. Terbukti, penanggulangan yang cepat dengan membuat gorong – gorong bisa menurunkan debit air yang meluber ke jalan.
Sebagai pemimpin lokal, pihak Camat Kuta, I Gede Wijaya sebelumnya telah melakukan sosialisasi terkait pembangunan gorong – gorong. Camat Kuta secara langsung dan tertulis telah menyampaikan hal tersebut kepada pengusaha serta pemilik bangunan dalam surat No. 620/676/ke/07 , tertanggal 27 desember 2007


 

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kata pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras memperbaiki dirinya sebelum sibuk memperbaiki orang lain.
Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).

B. SARAN
Sangat diperlukan sekali jiwa kepemimpinan pada setiap pribadi manusia. Jiwa kepemimpinan itu perlu selalu dipupuk dan dikembangkan. Paling tidak untuk memimpin diri sendiri.
Jika saja Indonesia memiliki pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin.


DAFTAR PUSTAKA

http://arifdelapan.blogspot.com/.  MAKALAH TENTANG KEPEMIMPINAN