Powered By Blogger

Senin, 06 Februari 2012

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA


BAB I

PENDAHULUAN

            Manusia adalah suatu mahluk somato-psiko-sosial dan karena itu maka suatu pendekatan terhadap manusia harus menyangkut semua unsur somatik, psikologik, dan social.
Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Psikologi menurut Plato dan Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.Menurut Wilhem Wundt (tokoh eksperimental) bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia , seperti penggunaan pancaindera, pikiran, perasaan, feeling dan kehendaknya.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya , bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya
Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan ada yang tidak , apakah ketidak percayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan pengalaman hidupnya.
1.1 Latar belakang masalah
Agama adalah juga fenomena sosial. Agama juga tak hanya ritual, menyangkut hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya belaka, tapi juga fenomena di luar kategori pengetahuan akademis. Sebagian manusia mempercayai agama, namun tidak pernah melakukan ritual. Yang lain mengaku tidak beragama, namun percaya sepenuhnya terhadap Tuhannya. Di luar itu semua, kita sering menyaksikan, dalam kondisi tertentu --semisal kesulitan hidup atau tertimpa musibah-- manusia cenderung berlari kepada agama. Sebaliknya, pada saat dirinya hidup dalam kondisi normal, mereka seringkali tidak peduli terhadap agama, bahkan mengingkari eksistensi Tuhannya.
Berangkat dari fenomena demikian, psikologi agama merupakan salah satu cara bagaimana melihat praktek-praktek keagamaan.
Sebagai gejala psikologi, agama rupanya cukup memberi pengertian tentang perlu atau tidaknya manusia beragama. Bahkan bila dicermati lebih jauh, ketika agama betul-betul tak sanggup lagi memberi pedoman bagi masa depan kehidupan manusia, kita bisa saja terinspirasi untuk menciptakan agama baru, atau setidaknya melakukan berbagai eksperimen baru sebagai jalan keluar dari berbagai problem yang menghimpit kehidupan.
1.2 Perumusan masalah
Adapun masalah yang akan dibahas didalam ini adalah tentang definisi-definisi dan arti-arti dari psikologi agama, juga bagaimana psikologi agama berperan dalam kehidupan, Juga bagaimana Psikologis atau ilmu jiwa mempelajari manusia dengan memandangnya dari segi kejiwaan yang menjadi obyek ilmu jiwa yaitu manusia sebagai mahluk berhayat yang berbudi. Sebagai demikian, manusia tidak hanya sadar akan dunia disekitarnya dan akan dorongan alamiah yang ada padanya, tetapi ia juga menyadari kesadaranya itu , manusia mempunyai kesadaran diri ia menyadati dirinya sebagai pribadi, person yang sedang berkembang.

BAB II 
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Psikologi Agama
Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama. Kedua kata ini memiliki pengetian yang berbeda. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. (Jalaluddin, et al, 1979:77). Menurut Robert H Thoules psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia (Robert H Thoules, 1992:13).
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Psikologi agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai tehnik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang seperti itu baik sekarang atau masa depan, Ilmu pengetahuan tidak mampu membuktikan ketidak-adaan Tuhan, karena tidak ada tehnik empiris untuk membuktikan adanya gejala yang tidak empiris, tetapi sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa. Psikologi agama sebagai ilmu pengetahuan empiria tidak menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifatNya tapi dalam psikologi agama dapat diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah laku manusia. Psikologi dapat menguraikan iman agama kelompok atau iman individu, dapat mempelajari lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan , tingkah laku keagamaan, atau pengalaman keagamaan , pengalaman keagamaan, hukum-hukum umum tetang terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran beragama dan persoalan empiris lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi manusia dengan pendirian dan perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya hidup keagamaan
Selanjutnya, agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Hal ini pula barangkali yang menyulitkan para ahli untuk memberi definisi yang tepat tentang agama. Harun Nasution merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu Al-Din, Religi (relegere, religare) dan agama. Al-Din (semit) berarti undang-undang atau hokum. Kemudian dalam bahasa arab, Kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (Lati) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari “a=tidakdan gam=pergi” mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun temurun.
Barangkali masih cukup banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang psikologi. Tetapi dari defenisi-defenisi yang dikemukakan tersebut secara umum psikologi mencoba meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada dibelakangnya. Karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak, maka untuk mempelajari kejiwaan manusia hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak, yaitu pada sikap dan tingkah laku yang ditampilkannya.

2.2  Sejarah Perkembangan Psikologi Agama
Untuk menetapkan secara pasti kapan psikologi agama mulai dipelajari memang terasa agak sulit. Baik dalam kitab suci, maupun sejarah tentang agama-agama tidak terungkap secara jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walaupun tidak secara lengkap, ternyata permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama  banyak dijumpai baik melalui informasi kitab suci agama maupun sejarah agama.
Perjalanan hidup Sidharta Gautama dari seorang putra raja kapilawastu yang bersedia mengorbankan kemegahan dan kemewahan hidup untuk menjadi seorang pertapa menunjukkan bagaimana kehidupan batin yang dialaminya dalam kaitan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Proses perubahan arah keyakinan agama ini mengungkapkan penglaman keagamaan yang mempengaruhi diri tokoh agama budha. Dan prose situ kemudian dalam psikologi agama disebut dengan konversi agama.
Sidharta Gautama yang putra raja itu, sejak kecil sudah hidup dalam lingkungan istana yang serba mewah. Tetapi, ketika usia remaja, saat melihat kehidupan masyarkat, Sidharta Gautama menyaksikan segala bentuk penderitaan manusia dari yang tua, sakit dan orang yang meninggal dunia. Pemandangan seperti itu tak pernah dilihat Sidharta Gautama sebelumnya. Dari dialog dengan pengawalnya, Sidharta Gautama berkesimpulan bahwa kehidupan manusia penuh dengan penderitaan, mengalami usia lanjut, sakit dan akhirnya akan mati.
Psikologi agama bukanlah ilmu yang pertama kali mempelajari agama. Bahkan jauh sebelumnya sudah ada disiplin ilmu yang mempelajari aspek-aspek agama secara objektif. Misalnya, Sejarah Agama-agama di dunia dan Ilmu Sosiologi mempelajari tingkah laku orang dalam kelompok tanpa memperhitungkan perbedaan kebudayaan yang ada. Sedangkan Antropologi social lebih banyak menumpahkan perhatiannya pada perbedaan kebudayaan yang ada. Baik dalam Sosiologi, maupun Antropologi Sosial, agama merupakan masalah penting yang tidak dapat dilewatkan begitu saja dalam penelitian-penelitiannya.
Sumber-sumber dari Barat mengungkapkan bahwa penelitian secara ilmiah tentang Agama dimulai dari kajian para Antropolog. Hasil penelitian Frazer & Taylor mengenai agama-agama primitif dinilai sebagai gerakan awal dari kajian itu. Selanjutnya sejumlah penelitian juga dilakukan oleh para Sosiolog, dan juga ahli Psikologi seperti Stanley Hall. Tetapi Edwin Diller Starbuck dipandang sebagai peletak dasar bagi penelitian modern dilapangan psikologi agama.
Perkembangan Psikologi Agama dapat dibagi menjadi beberapa fase, sesuai dengan waktu kronologisnya. Psikologi agama sendiri bukanlah cabang ilmu yang berdiri sendiri dari cabang ilmu induk yang sama, tetapi terdiri dari dua jenis ilmu yang berbeda asal-usulnya yakni Psikologi dan Agama. Psikologi bersifat empiris, fenomenyanya nyata dalam tingkah laku yang dapat diprediksi, sedangkan Agama bersifat non-empiris dan fenomenya didasarkan pada wahyu/sumber-sumber agama yang tidak dapat diprediksi. Psikologi mempelajari tingkah laku yang merupakan manifestsi dari jiwa, sedangkan Agama mempelajari kesholehan penganutnya sebagai manifestasi ketatannya. Tetapi dari sini dapat dilihat persamaannya, yakni sama-sama mempelajari tingkah laku/behavior, baik psikologi maupun agama (kesholehan ditunjukkan dengan perilaku sehari-hari).
Perkembangan Psikologi Agama sebelum Abad ke-19 (Fase Perintisan)
Sebelum abad ke-19, psikologi dan agama adalah dua disiplin ilmu yang berbeda. Agama banyak di pelajari oleh Sosisologi, Antropologi, Sejarah agama-agama, perbandingan agama (orientalisme). Agama dipandang berbeda dari setiap disiplin ilmu diatas, sesuai dengan arah kajian ilmu masing-masing. Psikologi sendiri baru dipandang sebagai ilmu sesudah Wilhelm Wund mendirikan laboratorium psikologi pada tahun 1879. Jiwa dalam psikologi dianggap abstrak, sehingga tidak dapat diamati, diuji dan diempiriskan. Psikologi dianggap sebagai disiplin ilmu karena objek kajiannya bukan pada jiwa, tetapi pada tingkah laku (behavior) yang merupakan manifestasi dari keadaan jiwa.
Agama mempengaruhi tingkah laku penganutnya. Tingkah laku penganut suatu agama didasarkan pada keyakinan akan suatu doktrin. Disini dapat ditarik kesimpulan persamaan Psikologi dan Agama, yakni objek kajiannya tingkah laku yang dipengaruhi oleh keadaan jiwa (keyakinan doktrin agama). Dari sinilah permulaan munculnya Psikologi agama sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Perkembangan Fase Awal (Abad Ke-19)
Yang pertama mengemukakan hasil penelitiannya secara ilmiah tentang agama ialah Frazer dan Taylor (Antropolog). Mereka membentangkan bermacam-macam agama primitif dan menemukan persamaan yang sangat jelas antara berbagai bentuk ibadah pada agama kristen dan ibadah orang-orang primitif.
Maka mulailah Ilmu Jiwa mengumpulkan bahan-bahan yang dikemukakan oleh ahli-ahli tersebut, ditambah pula dengan meneliti riwayat hidup dan hasil karya ahli-ahli tasawwuf dan ulama-ulama terkenal. Memang, Ilmu Jiwa Agama mendapatkn bahan-bahan dari ilmu-ilmu pengetahuan terdahulu seperti sejarah agama-agama yang mempelajari agama dari segi hasil sosialnya seperti ibadah, legenda-legenda (mitos-mitos), kepercayaan-kepercayaan, undang-undang kependetaan dan sebagainya.  
Demikian pula halnya dengan hasil-hasil penelitian yang dikemukakan oleh ahli-ahli sosisologi. Yang dapat menerangkan segi-segi sosial dalam agama, tapi tidak menyinggung kehidupan beragama dalam masing-masing individu. Dapat dikatakan bahwa pendekatan ilmiah dalam ilmu jiwa agama dimulai pada tahun 1881, ketika G. Stanley Hall sebagai salah seorang ahli psikologi dimasa itu mempelajari peristiwa konversi agama pada remaja.     
Psikologi Agama Awal Abad ke-20
Perkembangan psikologi Agama menempuh titik terang pada awal abad ke-20. Hal ini dapat dirangkan dengan terbitnya beberapa buku populer dari beberapa tokoh.
1.    Edwin Diller Starbuck
“The Psychology of Religion, An Empirical Study of the Growth of Religious Consciousness” yang terbit tahun 1899 mengupas petumbuhan perasaan agama pada orang. Buku ini dikatakan sebagai gerakan baru terhadap penelitian ilmiah dalam bidang Ilmu Jiwa Agama. Buku ini dapat dikatakan sebagai suatu riset ilmiah yang sistematis.
2.    George Albert Coe
Pada tahun 1900, menerbitkan buku “The Spiritual Life”. Buku ini berisi perkembangan agama remaja, dan agak menentang penekanan atas konversi. Dia menerangkan bahwa pada masa remaja banyak peristiwa konflik dan kegoncangan agama yang membawa pada perkembangan agama yang normal dan benar. Pada tahun 1916, terbit pula karangannya “The Psychology of Religion”.


3.    James H. Leuba
Sebelum meneliti tentang agama, dia mengumpulkan beberapa defenisi tentang agama. Dia mendapatkan 48 defenisi, dan menyimpulkan bahwa defenisi itu tidak ada gunanya, karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah. Pada bulan Januari 1901, sebuah karangannya “Introduction to a Psychological Study of Religion” dimuat di “The Monist vol. XI”. Kemudian pada tahun 1912, diterbitkannya buku “A Psychological Study of Religion” dan ”The Belief in God and Immortality” pada tahun 1921.
4.    G. Stanley Hall
Buku “Adolescence” yang terbit tahun 1881, menerangkan psikologi remaja dan konversi agama pada remaja. Dalam penitiannya terhdap remaja-remaja pada tahun 1904, ditemukannya persesuaian antara pertumbuhan jiwa agama pada tiap individu,dengan petumbuhan emosi den kecenderungan terhadap jenis lain (lawan jenis). Bukunya yang lain “Jesus the Christ” (1917)
5.    William James
“The Varieties of Religious Experience” (1902), adalah hasil karangannya selama setahun ketika dia menderita sakit. Buku ini berisi penuh dengan keterangan-keterangan, dilengkapi pula dengan data-data dari kasus-kasus pribadi tentang pengalaman agama. Buku ini hanya mengulas satu segi saja, yakni perkembangan agama perseorangan (individual) atau agama yang dirasakan oleh masing-masing individu, itupun terbatas pada ahli-ahli agama dan bukan orang biasa.
6.    George M. Stratton
Pada tahun 1911 terbit buku Stratton, “Psychology of  Religious Life”. Dia berpendapat bahwa sumber agama itu adalah konflik jiwa dalam diri individu.
7.    Fluornoy
Pada tahun 1901, Fluornoy berusaha mengumpulkan semua penelitian psikologis yang pernah dilakukan terhadap agama. Dia menamkan penelitian semacam itu dengan “Ilmu Jiwa Agama”. Diantara kesimpulan yang didapatnya dari penelitiannya terhadap cara pengumpulan data-data Psikologi Agama sebelumnya adalah:
a)      Menjauhkan penelitian dari transcendence
b)      Prinsip mempelajari perkembangan
c)      Prinsip perbandingan
d)     Prinsip Dinamika
8.    James B. Pratt
“The Religious Consciousness” (1920), dengan terbitnya buku ini psikologi agama semakin maju. Dia menulis buku ini sesuai dengan apa yang dirasakannya sendiri. Dia mengupas sembahyang dari sisi sobjektif dan objektifnya.
9.    Rudolf Otto
Buku “Das Heilige” yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris tahun 1923. Buku ini berisi pengalaman-pengalaman psikologis dari pengertian tentang kesucian, yang diambilnya sebagai pokok dalam hal ini adalah sembahyang.
10.  Pierre Bovet
Tahun 1918 Pierre Bovet mengadakan penelitian terhadap dokumen-dokumen yang berisi psikologis dan paedagogis pengaruh pendidikan agama pada masa kecil (anak-anak). Hasil dikumpulkan pada sebuah buku “Le Sentiment Religieux et La Psychologie de L’Enfant”. Dari penelitian ini, Bovet mendapat ksimpulan bahwa “agama anak-anak tidak berbeda dari agama orang dewasa”.
11.  R.H. Thouless
“An Introduction to the Psychology of Religion” yang terbit tahun 1922. Thouless menentang pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa penelitian Ilmiah akan menghilangkan keyakinan beragama, ia berpendapat sebaliknya, dimana penelitian secara ilmiah akan dapat menjadi sandaran yang kuat bagi agama. Ia mempelajari Ilmu Jiwa Agama dengan dasar-dasar penelitian secara Filsafat.
12.  Sante de Sanctis
Pada tahun 1927 dari hasil penyelidikannya dan menerbitkan “Religious Conversion” dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Flournoy. Dia berpendapat bahwa ilmu jiwa agama adalah usaha untuk memahami tidakan agamis dari seseorang, dilihat dari proses jiwa yang terkenal dalam ilmu jiwa.

13.  Walter Houston. Clark
“The Psychology of Religion” (1958), buku ini berisi proses-proses dan dinamika jiwa agama sejak anak-anak sampai dewasa.

Psikologi Agama dalam Dunia Timur (Islam) 
Dalam buku “Ihya ‘Ulm al-Din” karangan Imam al-Ghozali banyak berbicara mengenai kehidupan beragama. Dia menguraikan pengaruh ajaran agama terhadap kehidupan beragama. “Al Munqis minal-Dhalal” juga karangan Imam al-Ghozali, menguraikan tentang konversi agama yang dipahami sebagai masa pematangan beragama. Al-Malighy (1955) dalam bukunya “Tatawwuf al-Syu’ur al-Diny ‘Inda Tifl wa al-Murabiq”, membahas tentang perkembangan rasa agama pada anak-anak dan remaja.
            Buku lain yang mencoba membahas psikologi agama dengan memberi nama lain yaitu “Nafsiologi”, dalam buku Sukanto Mulyomartono dengan judul “Nafsiologi, suatu pendekatan alternative dalam psikologi
            Banyak buku lain yang merupakan karangan-karangan orang muslim yang membahas tentang perkembangan psikologi dan agama. Perlu dicatat bahwa, adanya kemandekan perkembangan psikologi agama di dunia Barat, tampaknya hampir tidak dirasakan oleh dunia Islam. Di Barat, tampaknya sulit untuk mempersatukan persepsi tentang perlunya kajian ilmiah mengenai agama, dan ilmu, karena masih trauma dengan abad pertengahan.

 BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama. Kedua kata ini memiliki pengetian yang berbeda. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. (Jalaluddin, et al, 1979:77). Menurut Robert H Thoules psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia (Robert H Thoules, 1992:13).
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Untuk menetapkan secara pasti kapan psikologi agama mulai dipelajari memang terasa agak sulit. Baik dalam kitab suci, maupun sejarah tentang agama-agama tidak terungkap secara jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walaupun tidak secara lengkap, ternyata permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama  banyak dijumpai baik melalui informasi kitab suci agama maupun sejarah agama.
Perjalanan hidup Sidharta Gautama dari seorang putra raja kapilawastu yang bersedia mengorbankan kemegahan dan kemewahan hidup untuk menjadi seorang pertapa menunjukkan bagaimana kehidupan batin yang dialaminya dalam kaitan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Proses perubahan arah keyakinan agama ini mengungkapkan penglaman keagamaan yang mempengaruhi diri tokoh agama budha. Dan prose situ kemudian dalam psikologi agama disebut dengan konversi agama.

DAFTAR PUSTAKA
 
Drs H. Ahmad Fauzi , Psikologi Umum Pustaka setia Bandung, 2004
Jalaluddin Rakhmat , Psikologi Agama sebuah pengatar, Mizan 2004
Daradjat, Zakiah, Prof. Dr. 1991. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang
Ramayulis, H, Prof, Dr. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia
Jalaluddin, H, Prof, Dr. 2008. Psikologi Agama. Jakarta: Grafindo Persada
Sou’yb, Yoesoef. 1985. Orientalisme dan Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar